Dangdut
Dangdut merupakan salah satu dari genre
seni musik yang berkembang di Indonesia dan mengandung unsur-unsur musik Hindustan, Melayu, dan Arab. Bentuk musik ini berakar
awal dasar dari Qasidah yang terbawa oleh Agama Islam yang masuk
Nusantara tahun 635 - 1600 dan Gambus yang dibawa oleh
migrasi orang Arab tahun 1870 - sesudah 1888, kemudian menjelma sebagai Musik
Gambus tahun 1930 oleh orang Arab-Indonesia bernama Syech Albar, selanjutnya menjelma sebagai Musik Melayu Deli pada tahun 1940 oleh Husein Bawafie, dan tahun 1950 pengaruh musik Amerika Latin serta tahun 1958 dipengaruhi Musik India
melalui film Bollywood oleh Ellya Khadam dengan lagu Boneka India, dan
terakhir lahir sebagai Dangdut tahun 1968 dengan tokoh utama Rhoma Irama. Dalam evolusi menuju bentuk
kontemporer sekarang masuk pengaruh unsur-unsur musik India
(terutama dari penggunaan tabla) dan Arab (pada cengkok dan harmonisasi). Perubahan
arus politik Indonesia pada akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh musik
barat yang kuat dengan masuknya penggunaan gitar
listrik dan juga bentuk pemasarannya. Sejak tahun 1970-an dangdut boleh
dikatakan telah matang dalam bentuknya yang kontemporer. Sebagai musik populer,
dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik lain, mulai dari
keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.[1]
Asal istilah
Penyebutan nama "dangdut" merupakan onomatope dari suara permainan tabla (dalam dunia
dangdut disebut gendang saja) musik India. Putu Wijaya awalnya menyebut dalam majalah Tempo
edisi 27 Mei 1972 bahwa lagu Boneka dari India adalah campuran lagu Melayu,
irama padang pasir, dan "dang-ding-dut" India.[2] Sebutan ini selanjutnya diringkas
menjadi "dangdut" saja, dan oleh majalah tersebut digunakan untuk
menyebut bentuk lagu Melayu yang terpengaruh oleh lagu India.[2]
Pengaruh dan perkembangan
Qasidah masuk ke Nusantara
tahun 635 - 1600
Qasidah masuk Nusantara sejak Agama Islam dibawa para saudagar Arab tahun 635,
kemudian juga saudagar Gujarat tahun 900 - 1200,
saudagar Persia tahun 1300 - 1600 [3]. Nyanyian Qasidah biasanya berlangsung di masjid,
pesantren dahwah agama Islam.
Gambus dan migrasi orang Arab
mulai tahun 1870
Gambus adalah salah satu alat musik Arab seperti
gitar, namun mempunyai suara rendah. Diperkirakan alat musik gambus masuk ke
nusantara bersama migrasi Marga Arab Hadramaut
(sekarang Yaman) dan orang Mesir
mulai tahun 1870 hingga setelah 1888, [4] yaitu setelah Terusan Suez dibuka tahun 1870, pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta Utara dibangun tahun 1877, dan Koninklijke
Paketvaart Maatschappij berdiri tahun 1888. Para musisi Arab sering
mendendangkan Musik Arab dengan
iringan gambus.
Pada awal abad XX penduduk Arab-Indonesia senang mendengarkan lagu gambus,
dan sekitar tahun 1930, Syech Albar (ayah dari Ahmad Albar) mendirikan orkes gambus di Surabaya.
Ia juga membuat rekaman piringan hitam dengan Columbia tahun 1930-an, yang laku
di pasaran Malaysia dan Singapura.
Musik Melayu Deli tahun 1940
Musik Melayu Deli lahir sekitar tahun 1940 di Sumatera Utara bersama Husein Bawafie dan Muhammad Mashabi, kemudian menjalar ke Batavia
dengan berdirinya Orkes Melayu [5].
Irama Amerika Latin tahun 1950
Pada tahun 1950, musik Amerika Latin masuk ke Indonesia oleh Xavier
Cugat dan Edmundo Ros serta Perez Prado, termasuk Trio Los Panchos atau Los Paraguayos.[rujukan?]
Irama latin ini kemudian lekat dengan orang Indonesia. Kemudian berbagai lagu
Minang juga muncul bersama Orkes
Gumarang, dan Zainal Combo [6].
Dangdut kontemporer telah berbeda dari akarnya, musik Melayu, meskipun
orang masih dapat merasakan sentuhannya. Pada tahun 1950-an dan 1960-an banyak
berkembang orkes-orkes Melayu di Jakarta yang memainkan
lagu-lagu Melayu Deli dari Sumatera (sekitar Medan).
Dari musik Melayu Deli tahun
1940 ke Dangdut tahun 1968
Orkes Melayu (biasa disingkat OM, sebutan yang masih sering dipakai
untuk suatu grup musik dangdut) yang asli menggunakan alat musik seperti gitar akustik, akordeon, rebana, gambus, dan suling, bahkan gong. Musik Melayu Deli awalnya
tahun 1940-an lahir di daerah Deli Medan, kemudian musik melayu deli ini juga
berkembang di daerah lain, termasuk Jakarta. Pada masa ini mulai masuk
eksperimen masuknya unsur India dalam musik Melayu. Perkembangan dunia sinema
pada masa itu dan politik anti-Barat dari Presiden Sukarno menjadi pupuk bagi grup-grup ini. Dari
masa ini dapat dicatat nama-nama seperti P. Ramlee (dari Malaya), Said Effendi (dengan
lagu Seroja), Ellya
(dengan gaya panggung seperti penari India, sang pencipta Boneka dari India),
Husein Bawafie (salah seorang penulis lagu Ratapan
Anak Tiri), Munif
Bahaswan (pencipta Beban Asmara), serta M. Mashabi (pencipta skor film "Ratapan Anak
Tiri" yang sangat populer pada tahun 1970-an). Gaya bermusik masa ini
masih terus bertahan hingga 1970-an, walaupun pada saat itu juga terjadi
perubahan besar di kancah musik Melayu yang dimotori oleh Soneta
Group pimpinan Rhoma Irama. Beberapa
nama dari masa 1970-an yang dapat disebut adalah Mansyur S., Ida Laila, A.
Rafiq, serta Muchsin Alatas. Populernya musik Melayu dapat dilihat dari
keluarnya beberapa album pop Melayu oleh kelompok musik pop Koes Plus di masa jayanya.
Dangdut modern, yang berkembang pada awal tahun 1970-an sejalan dengan
politik Indonesia yang ramah terhadap budaya Barat, memasukkan alat-alat musik
modern Barat seperti gitar listrik, organ elektrik,
perkusi, trompet, saksofon, obo,
dan lain-lain untuk meningkatkan variasi dan sebagai lahan kreativitas
pemusik-pemusiknya. Mandolin juga masuk sebagai
unsur penting. Pengaruh rock (terutama pada permainan gitar) sangat kental
terasa pada musik dangdut. Tahun 1970-an menjadi ajang 'pertempuran' bagi musik
dangdut dan musik rock dalam merebut pasar musik Indonesia, hingga
pernah diadakan konser 'duel' antara Soneta Group dan God Bless. Praktis sejak masa ini musik Melayu
telah berubah, termasuk dalam pola bisnis bermusiknya. Pada paruh akhir dekade 1970-an juga berkembang variasi "dangdut
humor" yang dimotori oleh OM Pancaran Sinar
Petromaks (PSP). Orkes ini, yang berangkat dari gaya musik melayu
deli, membantu diseminasi dangdut di kalangan mahasiswa. Subgenre ini
diteruskan, misalnya, oleh OM Pengantar Minum Racun
(PMR) dan, pada awal tahun 2000-an, oleh Orkes Pemuda
Harapan Bangsa (PHB).
Interaksi dengan musik lain
Dangdut sangat elastis dalam menghadapi dan memengaruhi bentuk musik
yang lain. Lagu-lagu barat populer pada tahun 1960-an dan 1970-an banyak yang
didangdutkan. Genre musik gambus dan kasidah perlahan-lahan hanyut dalam arus
cara bermusik dangdut. Hal yang sama terjadi pada musik tarling dari Cirebon sehingga yang masih eksis pada saat ini
adalah bentuk campurannya: tarlingdut. Musik rock, pop, disko, house
bersenyawa dengan baik dalam musik dangdut. Aliran campuran antara musik
dangdut & rock secara tidak resmi dinamakan Rockdut. Demikian pula
yang terjadi dengan musik-musik daerah seperti jaipongan, degung, tarling, keroncong, langgam Jawa (dikenal sebagai suatu bentuk musik campur
sari yang dinamakan congdut, dengan tokohnya Didi Kempot), atau zapin.
Mudahnya dangdut menerima unsur 'asing' menjadikannya rentan terhadap
bentuk-bentuk pembajakan, seperti yang banyak terjadi terhadap lagu-lagu dari
film ala Bollywood dan lagu-lagu latin.
Kopi Dangdut, misalnya, adalah "bajakan" lagu yang populer
dari Venezuela.
Bangunan lagu
Lagu-lagu dangdut dapat menerima berbagai unsur musik lain secara mudah,
meskipun demikian bangunan sebagian besar lagu dangdut sangat konservatif.
Sebagian besar lagu dangdut tersusun dari satuan delapan birama 4/4. Jarang sekali ditemukan lagu dangdut dengan birama
3/4, kecuali pada beberapa lagu masa 1960-an seperti Burung Nuri dan Seroja.
Bentuk bangunan lagu dangdut secara umum adalah: A - A - B - A, namun
dalam aplikasi kebanyakan memiliki urutan menjadi seperti ini [7] :
“
|
Intro - Eksposisi I - A - A -
Eksposisi II - B - A - Eksposisi II - B - A - (coda)
|
”
|
Bentuk bangunan lagu dangdut
|
|
Urutan bangunan lagu
|
Keterangan
|
Intro
|
Dapat
merupakan pembuka pendek sepanjang 2 - 4 birama berupa permainan instrumental
atau rangkaian akord pembuka, bisa juga sebagai vokal resitatif (setengah
deklamasi) yang mengungkapkan isi lagu dengan iringan akord terurai (broken
chord) atau tanpa iringan, atau bisa juga berupa permainan seruling, kemudian
masuk ke Eksposisi I atau Vokal.
|
Eksposisi
I atau
Tampilan I
|
Adalah
sajian instrumental yang berlangsung sepanjang 4 - 8 birama, dengan instrumen
suling, organ, gitar, bahkan sitar atau mandolin secara bergantian. Eksposisi
adalah Tampilan kelompok band, berupa aransemen kebolehan band yang disajikan
secara khusus untuk memperlihatkan kebolehan. Tampilan I bisa dihilangkan
kalau dari Intro langsung masuk Vokal.
|
Verse A
|
Biasanya
berupa melodi dengan nada rendah dan datar sebagai ungkapan pertama isi
lagu atau proposta.
|
Eksposisi
II atau
Tampilan II
|
Berupa
sajian yang kedua instrumental kebolehan band, dan Tampilan II harus ada
(tidak boleh ditiadakan) dan sebagai penghubung Verse A dengan Verse B, juga
instrumental bergantian antara organ, suling, gitar, atau sitar dan mandolin.
|
Verse B
|
Biasanya
berupa melodi dengan nada tinggi dan berapi-api menjelaskan lebih lanjut isi
lagu, atau juga riposta terhadap Verse A. Lirik bagian kedua biasanya
berisi konsekuensi dari situasi yang digambarkan bagian pertama atau tindakan
yang diambil si penyanyi untuk menjawab situasi itu.
|
Eksposisi
II atau
Tampilan II
|
Diulang
lagi, berupa sajian yang ketiga instrumental kebolehan band, dan Tampilan II
harus ada (tidak boleh ditiadakan) dan sebagai penghubung Verse A dengan
Verse B, juga instrumental bergantian antara organ, suling, gitar, atau sitar
dan mandolin.
|
Verse B
|
Mengulang
dari Verse B sebelumnya, isinya sama persis dengan Verse B sebelumnya.
|
Verse A
|
Disajikan
sekali lagi untuk menutup lagu, sama persis dengan Verse A sebelumnya.
|
Coda (optional, boleh dihilangkan)
|
Di
akhir lagu kadang-kadang terdapat koda sepanjang empat birama, namun juga
bisa ditiadakan langsung berhenti, atau diakhiri dengan fade away
(jarang terjadi).
|
Lagu dangdut umumnya juga miskin improvisasi, baik melodi maupun harmoni.
Sebagai musik pengiring tarian, dangdut sangat mengandalkan ketukan tabla dan sinkop.
Dangdut dalam budaya
kontemporer
Rhoma Irama menjadikan dangdut sebagai alat berdakwahnya, yang terlihat
dari lirik-lirik lagu ciptaannya serta dari pernyataan yang dikeluarkannya
sendiri. Hal ini menjadi salah satu pemicu polemik di Indonesia pada tahun
2003, akibat protesnya terhadap gaya panggung para penyanyi dangdut, antara
lain Inul Daratista, yang
goyang ngebor-nya yang dicap dekaden serta "merusak moral".
Jauh sebelumnya, dangdut juga telah mengundang perdebatan dan berakhir dengan
pelarangan panggung dangdut dalam perayaan Sekaten di Yogyakarta. Perdebatan muncul lagi-lagi akibat
gaya panggung penyanyi (wanita)-nya yang dinilai terlalu "terbuka"
dan berselera rendah, sehingga tidak sesuai dengan misi Sekaten sebagai suatu
perayaan keagamaan. Dangdut memang disepakati banyak kalangan sebagai musik
yang membawa aspirasi kalangan masyarakat kelas bawah dengan segala
kesederhanaan dan kelugasannya. Ciri khas ini tercermin dari lirik serta
bangunan lagunya. Gaya pentas yang sensasional tidak terlepas dari napas ini.
Panggung kampanye partai politik juga tidak ketinggalan memanfaatkan
kepopuleran dangdut untuk menarik massa. Isu dangdut sebagai alat politik juga
menyeruak ketika Basofi Sudirman,
pada saat itu sebagai fungsionaris Golkar, menyanyi lagu dangdut.
Walaupun dangdut diasosiasikan dengan masyarakat bawah yang miskin, bukan
berarti dangdut hanya digemari kelas bawah. Di setiap acara hiburan, dangdut
dapat dipastikan turut serta meramaikan situasi. Panggung dangdut dapat dengan
mudah dijumpai di berbagai tempat. Tempat hiburan dan diskotek yang khusus memutar lagu-lagu dangdut
banyak dijumpai di kota-kota besar. Stasiun radio siaran yang menyatakan
dirinya sebagai "radio dangdut" juga mudah ditemui di berbagai kota.
Setelah 1970-an
|
|
Era 1970-an
|
Pra-1970-an
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar